3 MARET 1924 - 3 MARET 2017
Tanggal 3 bulan Maret, bagi Umat Islam, selayaknya merupakan sebuah tanggal dan bulan yang harus selalu diingat. Dimana pada tanggal dan bulan tersebut, yakni tepatnya pada tanggal 03 Maret 1924 (93 tahun yang lalu), telah terjadi peristiwa bersejarah yang kelam. Peristiwa yang kemudian memberikan akibat kepada kehidupan umat Islam secara keseluruhan.
Peristiwa apa yang terjadi pada tanggal 03 Maret 1924?, yakni dihapuskannya sistem pemerintahan Islam yakni sistem Khilafah oleh Mustafa Kemal Attarturk, yang kemudian diganti dengan sistem pemerintahan Republik.
Penghapusan sistem Khilafah sendiri dilakukan sebagai bagian dari syarat yang diajukan oleh Inggris untuk mengakui kekuasaan Mustafa Kemal Attaturk.
Keempat syarat itu adalah: (1) Menghapus sistem Khilafah; (2) Mengasingkan keluarga Utsmaniah di luar perbatasan; (3) Memproklamirkan berdirinya negara sekuler; (4) Pembekuan hak milik dan harta milik keluarga Utsmaniah. (Mahmud Syakir, Târîkh al-Islâm, VIII/233).
Akhirnya, setelah lebih dari enam abad memimpin peradaban dunia (699 – 1342 H / 1299 – 1924 M), membela kemuliaan Islam dan umatnya, “The Old Sick-Man” akhirnya tumbang. Runtuh bukan karena serangan dari musuh-musuh luar, tetapi di tangan putra-putranya sendiri.{waduh kacau}
Beberapa bulan setelah penghapusan sistem Khilafah, maka pada tanggal 24 Juli 1924, kemerdekaan Turki secara resmi diakui dengan penandatanganan Traktat Lausanne. Inggris dan sekutu-sekutunya menarik semua pasukannya dari Turki yang ditempatkan sejak akhir PD I.
Sebagai reaksi dari hal ini, dilakukan protes pada Menlu Lord Curzon di House of Common karena Inggris mengakui kemerdekaan Turki. Lord Currzon menjawab, “Situasinya sekarang adalah Turki telah mati dan tidak akan pernah bangkit lagi, karena kita telah menghancurkan kekuatan moralnya, khilafah dan Islam.”
Kehidupan Umat Islam Pasca Khilafah
Setelah Daulah Khilafah Ustamiyyah dihapuskan, umat Islam hidup terkotak-kotak menjadi lebih dari 50-an negara. Padahal sebelumnya umat Islam hidup dalam satu kepemimpinan, walaupun berbeda wilayah. Akibatnya, umat Islam menjadi lemah, dan menjadi sasaran empuk bangsa-bangsa imperialis barat.
Lihatlah bagaimana umat Islam di Palestina yang hingga sekarang dijajah dan warganya dibantai oleh Zionis Israel. Begitu pula dengan nasib umat Islam di belahan bumi lainnya seperti di Myanmar, Suriah, Irak, Afrika Tengah, Afghanistan, dan berbagai belahan bumi lainnya dimana umat Islam benar-benar mengalami keterpurukan di semua bidang dan liat sekarang sekulerisme dan darwinisme tumbuh pesat dimana mana ini tidak boleh dibiarkan!.
Kewajiban Menegakan Kembali Khilafah
Kalau dihitung, berarti 93 tahun sudah umat Islam hidup tanpa Khilafah. padahal, ijma’ sahabat hanya memperbolehkan umat Islam hidup tanpa seorang Imam atau Khalifah maksimal 3 hari.
Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Umar ra. benar-benar menegaskan pentingnya pembatasan waktu selama tiga hari untuk mengangkat khalifah dengan mengatakan: “Jika saya meninggal maka bermusyawarahlah kalian selama tiga hari. Hendaklah Suhaib yang mengimami shalat masyarakat. Tidaklah datang hari keempat, kecuali kalian sudah harus memiliki amir (khalifah).”
Oleh karena itu, wajib bagi setiap individu Muslim untuk bersungguh-sungguh memperjuangkan Khilafah Islam. Karena kewajiban ini telah dinyatakan dengan jelas dalam al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma Sahabat. Nash al-Quran, misalnya, Allah swt berfirman
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-nisa [4]: 59)
Konteks ûlî al-amri minkum adalah pemimpin yang wajib ditaati karena ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatannya itu kemudian diwujudkan dalam kebijakannya, yaitu ketika dia mengimplementasikan syariat Islam dalam seluruh aspek pemerintahannya. Jika pemimpin seperti itu tidak ada maka harus diadakan agar ketaatan tersebut bisa diwujudkan. Sebab, tidak mungkin ada perintah untuk menaati ûlî al-amri minkum, sementara ûlî al-amri minkum tidak ada.
Dalil lain berdasarkan al Qur’an, yakni bahwa Allah Swt telah berfirman menyeru Rasul saw :
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 48)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.(QS. al-Maidah [5]: 49).
Perlu dipahami bahwa seruan yang ditujukan kepada Rasulullah saw. merupakan seruan bagi umatnya, sebagaimana kaidah: Khithâb ar-Rasûl khithâb li ummatihi (seruan kepada Rasul adalah seruan kepada umatnya). Karena tidak ditemukan dalil yang membatasi bahwa khithâb tersebut berlaku khusus hanya untuk Nabi saw., maka seruan ini berarti berlaku pula bagi umatnya.
Mafhumnya adalah hendaknya umat Beliau saw mewujudkan seorang hakim setelah Rasulullah saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas. Karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan jazm (tegas).
Hakim yang memutuskan perkara di antara kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Sistem pemerintahan menurut sisi ini adalah sistem Khilafah.
Sebagaimana di dalam hadis, Rasulullah saw bersabda :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya (HR. Muslim)
Di samping itu, Nabi saw. dengan tegas juga menyatakan:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat kelak tanpa memiliki hujah, dan siapa saja yang mati sedang di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia mati seperti kematian jahiliyah” (HR. Muslim)
Agar baiat itu ada di atas pundak setiap kaum Muslim, maka harus ada khalifah, karena memang baiat itu hanya untuk khalifah, bukan yang lain, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis riwayat Muslim di atas. Sekalipun hadis ini isinya berita atau khobar, ia berkonotasi perintah, yang intinya agar Khalifah (Khilafah) itu diadakan sehingga kita tidak dinyatakan mati jahiliah.
Para Imam Madzhab sendiri telah menegaskan kewajiban mengangkat Khalifah ini di tengah-tengah umat Islam. Imam Ibnu Hazm dalam Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal menegaskan telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah].
Khilafah sendiri menurut Taqiyuddin An Nabhani adalah sebagai berikut :
اَلْخِلاَفَةُ هِيَ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعاً فِي الدُّنْيَا لإِقَامَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِيِّ، وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ إِلَى الْعَالَمِ
“Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.”[ Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyah Al Islamiyah, (Beirut : Darul Ummah), 2003, Juz 2 hlm. 14]
Dengan tegaknya Khilafah, maka umat akan hidup di bawah satu kepemimpinan, yakni dipimpin oleh seorang Khalifah. Khalifah kemudian akan menerapkan aturan Islam secara kaffah, baik syariah yang mengatur ketiga dimensi di dalam kehidupan manusia. Khalifah akan menjaga aqidah umat ini dari segala bentuk pemahaman yang menyimpang, yang tidak berasal dari aqidah maupun hadharah Islam. Wallahu a’lambisshowab
Tanggal 3 bulan Maret, bagi Umat Islam, selayaknya merupakan sebuah tanggal dan bulan yang harus selalu diingat. Dimana pada tanggal dan bulan tersebut, yakni tepatnya pada tanggal 03 Maret 1924 (93 tahun yang lalu), telah terjadi peristiwa bersejarah yang kelam. Peristiwa yang kemudian memberikan akibat kepada kehidupan umat Islam secara keseluruhan.
Peristiwa apa yang terjadi pada tanggal 03 Maret 1924?, yakni dihapuskannya sistem pemerintahan Islam yakni sistem Khilafah oleh Mustafa Kemal Attarturk, yang kemudian diganti dengan sistem pemerintahan Republik.
Penghapusan sistem Khilafah sendiri dilakukan sebagai bagian dari syarat yang diajukan oleh Inggris untuk mengakui kekuasaan Mustafa Kemal Attaturk.
Keempat syarat itu adalah: (1) Menghapus sistem Khilafah; (2) Mengasingkan keluarga Utsmaniah di luar perbatasan; (3) Memproklamirkan berdirinya negara sekuler; (4) Pembekuan hak milik dan harta milik keluarga Utsmaniah. (Mahmud Syakir, Târîkh al-Islâm, VIII/233).
Akhirnya, setelah lebih dari enam abad memimpin peradaban dunia (699 – 1342 H / 1299 – 1924 M), membela kemuliaan Islam dan umatnya, “The Old Sick-Man” akhirnya tumbang. Runtuh bukan karena serangan dari musuh-musuh luar, tetapi di tangan putra-putranya sendiri.{waduh kacau}
Beberapa bulan setelah penghapusan sistem Khilafah, maka pada tanggal 24 Juli 1924, kemerdekaan Turki secara resmi diakui dengan penandatanganan Traktat Lausanne. Inggris dan sekutu-sekutunya menarik semua pasukannya dari Turki yang ditempatkan sejak akhir PD I.
Sebagai reaksi dari hal ini, dilakukan protes pada Menlu Lord Curzon di House of Common karena Inggris mengakui kemerdekaan Turki. Lord Currzon menjawab, “Situasinya sekarang adalah Turki telah mati dan tidak akan pernah bangkit lagi, karena kita telah menghancurkan kekuatan moralnya, khilafah dan Islam.”
Kehidupan Umat Islam Pasca Khilafah
Setelah Daulah Khilafah Ustamiyyah dihapuskan, umat Islam hidup terkotak-kotak menjadi lebih dari 50-an negara. Padahal sebelumnya umat Islam hidup dalam satu kepemimpinan, walaupun berbeda wilayah. Akibatnya, umat Islam menjadi lemah, dan menjadi sasaran empuk bangsa-bangsa imperialis barat.
Lihatlah bagaimana umat Islam di Palestina yang hingga sekarang dijajah dan warganya dibantai oleh Zionis Israel. Begitu pula dengan nasib umat Islam di belahan bumi lainnya seperti di Myanmar, Suriah, Irak, Afrika Tengah, Afghanistan, dan berbagai belahan bumi lainnya dimana umat Islam benar-benar mengalami keterpurukan di semua bidang dan liat sekarang sekulerisme dan darwinisme tumbuh pesat dimana mana ini tidak boleh dibiarkan!.
Kewajiban Menegakan Kembali Khilafah
Kalau dihitung, berarti 93 tahun sudah umat Islam hidup tanpa Khilafah. padahal, ijma’ sahabat hanya memperbolehkan umat Islam hidup tanpa seorang Imam atau Khalifah maksimal 3 hari.
Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Umar ra. benar-benar menegaskan pentingnya pembatasan waktu selama tiga hari untuk mengangkat khalifah dengan mengatakan: “Jika saya meninggal maka bermusyawarahlah kalian selama tiga hari. Hendaklah Suhaib yang mengimami shalat masyarakat. Tidaklah datang hari keempat, kecuali kalian sudah harus memiliki amir (khalifah).”
Oleh karena itu, wajib bagi setiap individu Muslim untuk bersungguh-sungguh memperjuangkan Khilafah Islam. Karena kewajiban ini telah dinyatakan dengan jelas dalam al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma Sahabat. Nash al-Quran, misalnya, Allah swt berfirman
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-nisa [4]: 59)
Konteks ûlî al-amri minkum adalah pemimpin yang wajib ditaati karena ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatannya itu kemudian diwujudkan dalam kebijakannya, yaitu ketika dia mengimplementasikan syariat Islam dalam seluruh aspek pemerintahannya. Jika pemimpin seperti itu tidak ada maka harus diadakan agar ketaatan tersebut bisa diwujudkan. Sebab, tidak mungkin ada perintah untuk menaati ûlî al-amri minkum, sementara ûlî al-amri minkum tidak ada.
Dalil lain berdasarkan al Qur’an, yakni bahwa Allah Swt telah berfirman menyeru Rasul saw :
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 48)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.(QS. al-Maidah [5]: 49).
Perlu dipahami bahwa seruan yang ditujukan kepada Rasulullah saw. merupakan seruan bagi umatnya, sebagaimana kaidah: Khithâb ar-Rasûl khithâb li ummatihi (seruan kepada Rasul adalah seruan kepada umatnya). Karena tidak ditemukan dalil yang membatasi bahwa khithâb tersebut berlaku khusus hanya untuk Nabi saw., maka seruan ini berarti berlaku pula bagi umatnya.
Mafhumnya adalah hendaknya umat Beliau saw mewujudkan seorang hakim setelah Rasulullah saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas. Karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan jazm (tegas).
Hakim yang memutuskan perkara di antara kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Sistem pemerintahan menurut sisi ini adalah sistem Khilafah.
Sebagaimana di dalam hadis, Rasulullah saw bersabda :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya (HR. Muslim)
Di samping itu, Nabi saw. dengan tegas juga menyatakan:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat kelak tanpa memiliki hujah, dan siapa saja yang mati sedang di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia mati seperti kematian jahiliyah” (HR. Muslim)
Agar baiat itu ada di atas pundak setiap kaum Muslim, maka harus ada khalifah, karena memang baiat itu hanya untuk khalifah, bukan yang lain, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis riwayat Muslim di atas. Sekalipun hadis ini isinya berita atau khobar, ia berkonotasi perintah, yang intinya agar Khalifah (Khilafah) itu diadakan sehingga kita tidak dinyatakan mati jahiliah.
Para Imam Madzhab sendiri telah menegaskan kewajiban mengangkat Khalifah ini di tengah-tengah umat Islam. Imam Ibnu Hazm dalam Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal menegaskan telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah].
Khilafah sendiri menurut Taqiyuddin An Nabhani adalah sebagai berikut :
اَلْخِلاَفَةُ هِيَ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعاً فِي الدُّنْيَا لإِقَامَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِيِّ، وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ إِلَى الْعَالَمِ
“Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.”[ Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyah Al Islamiyah, (Beirut : Darul Ummah), 2003, Juz 2 hlm. 14]
Dengan tegaknya Khilafah, maka umat akan hidup di bawah satu kepemimpinan, yakni dipimpin oleh seorang Khalifah. Khalifah kemudian akan menerapkan aturan Islam secara kaffah, baik syariah yang mengatur ketiga dimensi di dalam kehidupan manusia. Khalifah akan menjaga aqidah umat ini dari segala bentuk pemahaman yang menyimpang, yang tidak berasal dari aqidah maupun hadharah Islam. Wallahu a’lambisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar